Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) adalah seorang penulis, orator, filsuf, dan politikus Romawi.
Karyanya banyak dipelajari dan dipuji sampai cendekiawan di abad ke-19 mengungkapkan bahwa karya Cicero sebenarnya merupakan curian dari filsuf dan ahli retorika Yunani.
Filosofi Cicero dianggap sebagai “kristen” pagan, sehingga Gereja Katolik Roma menempatkan nilai tinggi pada karya Cicero.
Orang harus membaca Cicero dengan skeptis karena dia adalah seorang politisi ambisius. Karya tulisannya banyak diabdikan untuk mencapai tujuan politiknya.
Keterampilan menulis dan filosofi yang dimilikinya merupakan sarana untuk mencapai tujuan politik di Kekaisaran Romawi.
Meskipun Cicero lahir dari keluarga kaya, dia bukan berasal dari kelas cukup tinggi untuk masuk dalam lingkaran elit politik Romawi.
Dia belajar dan berpraktik hukum sebagai cara untuk mencapai kekuasaan di Roma.
Sejak terpilih di beberapa kantor peradilan, Cicero menjadi memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam senat Romawi.
Tidak seperti senat di Yunani Kuno, senat Romawi berfungsi dalam kapasitas sebagai penasihat.
Roma tidak diperintah secara demokrasi, melainkan lebih dekat ke oligarki, di mana hanya sebagian kecil elit yang memegang kekuasaan politik.
Sebagai konsul, jabatan paling kuat sebagai hasil pemilihan, Cicero berhasil membuka kedok konspirasi oleh Caitline yang bertujuan menggulingkan pemerintah.
Cicero lantas memerintahkan hukuman mati pada Caitline dan komplotannya tanpa pengadilan. Hal ini sangat berbeda dari tulisan Cicero sebelumnya di mana dia menyarankan peradilan yang adil.
Dia menolak bergabung dengan Julius Caesar, Crassus, dan Pompey untuk mengambil alih pemerintahan.
Crassus membalas dengan mensahkan sebuah hukum yang berlaku surut untuk mengasingkan orang-orang di Roma yang melakukan eksekusi tanpa pengadilan.
Akibat hukum ini, Cicero tidak hanya kehilangan jabatan tetapi juga statusnya sebagai warga negara.
Pengasingannya berlangsung kurang dari dua tahun dan dihabiskannya untuk menulis filsafat.
Setelah kembali ke Roma, dia menyaksikan keretakan hubungan antara Caesar dan Pompey, setelah kematian Crassus .
Cicero merasa kedua penguasa tidak cocok untuk Roma karena akan menghancurkan oligarki dan menciptakan monarki dengan penguasa kuat.
Setelah Caesar mendapatkan kekuasaan, Cicero menerima pengampunan atas dukungan ringannya kepada Pompey. Namun, dia tetap masih belum dapat kembali ke politik.
Cicero menyaksikan namun tidak ambil bagian dalam pembunuhan Caesar tiga tahun kemudian pada 44 SM. Perannya kemudian semakin ternoda oleh kepentingan politik.
Dia sengaja mengadu Marc Anthony dan Oktavianus satu sama lain untuk mengacaukan kekaisaran.
Cicero merasa Oktavianus lebih cocok menjadi kaisar karena masih muda dan dapat dengan mudah dipengaruhi oleh senat untuk mengembalikan republik.
Ketika Oktavianus berdamai dengan Marc Anthony, Marc Anthony memerintahkan kematian tidak hanya Cicero tetapi juga kerabat dekat laki-lakinya.
Cicero berupaya melarikan diri dari Italia tetapi tidak berhasil dan kemudian terbunuh.
Saudara laki-laki dan keponakannya juga tewas, tapi anaknya berhasil melarikan diri dan kemudian memegang jabatan konsul seperti ayahnya
Banyak tulisan Cicero berhasil diselamatkan, meskipun diyakini terdapat beberapa bagian penting yang hilang.
Dia menulis teori tentang bagaimana retorika harus diajarkan dengan banyak memungut dari Aristoteles.
Tulisan-tulisan filosofisnya berfokus pada moralitas sehingga bisa dipahami mengapa dia begitu dicintai oleh filsuf Katolik.
Banyak orang Roma pada waktu itu percaya bahwa jika para dewa ada, mereka adalah makhluk impersonal yang sedikit peduli dengan manusia.
Cicero menganggap bahwa para dewa lebih personal dan memerintahkan manusia untuk bertindak secara moral, sehingga amat mirip dengan ajaran Kristen yang datang kemudian.
Karya retorik Cicero yang terkenal diantaranya “On Invention,” “On the Orator,” dan “The Orator.”
Sedangkan karya filosofinya antara lain “On The Nature of the Gods,” dan “On Divination.”[]