“People power” mengacu pada revolusi sosial damai yang terjadi di Filipina sebagai akibat dari protes rakyat Filipina melawan Presiden Ferdinand Marcos yang telah berkuasa 20 tahun.
Protes dimulai saat Corazon Aquino, istri pemimpin oposisi Benigno Aquino, Jr, meluncurkan kampanye anti kekerasan untuk menggulingkan Marcos.
Aquino melancarkan protes sebagai konsekuensi dari deklarasi kemenangan Marcos pada pemilihan presiden tahun 1986.
People power dikenang sebagai perlawanan damai yang ditandai dengan demonstrasi jalanan setiap hari yang terutama diadakan di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA).
Peristiwa ini juga dianggap sebagai momen yang melahirkan kembali demokrasi di Filipina.
Sebagian orang percaya bahwa beberapa demonstrasi di negara lain yang juga sukses (termasuk Indonesia) mengacu pada revolusi people power di Filipina.
Marcos, yang telah menjabat dua periode, mengumumkan keadaan darurat pada tahun 1972 sebagai respon terhadap gangguan keamanan yang antara lain dipicu oleh kelompok komunis dan pemberontak muslim.
Marcos mulai menjabat sebagai presiden pada tahun 1965, kemudian menjabat kembali pada tahun 1969, dan terus memerintah negara itu dengan dekrit pada periode 1973-1986.
Dengan dugaan suap dan korupsi serta kontroversi mengenai pelanggaran hak asasi manusia, rezim Marcos ditentang keras oleh Senator Benigno “Ninoy” Aquino, Jr, yang dibunuh pada tahun 1983.
Marcos membentuk sebuah komite untuk menyelidiki kematian Aquino; namun, komite justru membuat laporan akhir berisi tuduhan partisipasi militer dalam pembunuhan itu.
Akibatnya, tekanan politik yang semakin memuncak memaksa Marcos menyerukan pemilihan presiden kilat yang digelar pada tanggal 7 Februari 1986.
Corazon “Cory” Aquino, janda Ninoy, setuju untuk mencalonkan diri sebagai presiden melawan Marcos meskipun kurang memiliki pengalaman politik.
Komisi Pemilihan Umum (COMELEC) secara resmi mengumumkan Marcos mengalahkan Aquino, tetapi Gerakan Nasional untuk Pemilihan Bebas (NAMFREL), sebuah organisasi independen yang melakukan penghitungan suara tidak resmi, menyatakan Aquino sebagai pemenang.
Hal ini didukung oleh sebagian orang Filipina yang percaya bahwa Aquino adalah pemenang.
Jutaan warga Filipina lantas berbondong-bondong ke EDSA mendukung tentara pemberontak untuk menggelar demonstrasi damai yang disebut people power.
Pada tanggal 25 Februari 1986, baik Marcos dan Aquino diambil sumpah sebagai presiden pada dua tempat yang berbeda.
Dengan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat, Marcos, keluarga dan beberapa sekutunya lantas dipaksa mengasingkan diri ke Honolulu, Hawaii, dan menghabiskan hidup di pengasingan.
Aquino kemudian menjadi penguasa Filipina di bawah pemerintahan demokratis yang dibangun kembali.[]